Bukuini berisikan informasi dan transaksi penjualan baik tunai maupun non-tunai. Laporan penjualan bisa dilakukan dalam bentuk rangkuman penjualan dan dapat juga dipisahkan per pelanggan. Angka penjualan tidak akan sama setiap harinya, sehingga perlu mencatatnya secara teratur. 5. Menyiapkan analisis dari catatan penjualan harian
NilaiJawabanSoal/Petunjuk KREDIT Cara menjual dengan pembayaran tidak tunai PENJUALAN 1 proses, cara, perbuatan menjual ~ barang-barang kebutuhan pokok; 2 tempat menjual MENGETENGKAN ...ceran toko koperasi harus ~ barang-barang yang langka kpd anggotanya secara merata; ketengan cara penjualan atau pembelian sedikit-sedikit; eceran h... TUKANG ...ng; 3 orang yang pekerjaannya melakukan sesuatu secara tetap - pangkas cukur; 4 orang yang biasa suka melakukan sesuatu yang kurang baik - mab... TOKO Kedai berupa bangunan permanen tempat menjual barang-barang JINJING Salah satu cara membawa barang TENTENG Cara membawa barang BELI Cara mendapatkan suatu barang LABA Keuntungan dari menjual barang PENJUAL Orang yang menjual barang GERAI Kedai kecil, meja, dan sebagainya tempat menjual barang RESELLER Orang yang menjual barang disebut URUP-URUPAN Berdagang dengan cara menukar barang OBRAL Menjual barang secara besar-besaran dengan harga murah BERPALU-PALU Berdagang dengan cara tukar-menukar barang; berbarter; GROSIR Pedagang yang menjual barang dalam jumlah besar PIKUL Cara mengangkat barang yang ditaruh di bahu ELECTRONIC ... City ritel modern menjual barang-barang elektronik AGEN Penyalur yang menjual barang atas nama perusahaan SERET Salah satu cara membawa barang yang berat TUKAR ... tambah salah satu cara membeli barang baru MELELANG Menjual dengan cara lelang mereka telah ~ rumahnya; INDEN Pembelian barang dengan cara memesan dan membayar lebih dahulu COD Salah satu cara membayar atau membeli barang secara online HIPERMARKET Pasar swalayan yang sangat besar yang menjual berbagai barang Sebagaicontoh, syarat penjualan kredit adalah 2/10 net/30, yang dapat diartikan pembayaran dapat dilakukan dalam jangka waktu 10 hari sesudah waktu penyerahan barang dan mendapatkan potongan tunai sebesar 2 persen dari harga penjualan, dan pembayaran selambat-lambatnya dilakukan dalam kurun waktu 30 hari sesudah waktu penyerahan barang.Bila DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, ANGGOTA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Assalamu'alaikum wr wb. Ustaz, apakah beli kurma juga harus tunai yadan bi yadin? Ini karena banyak pedagang yang mengambil kurma dari supplier dengan jumlah yang banyak, setelah kurmanya terjual baru pedagang membayarnya ke supplier. Muhaimin, Cirebon Wa'alaikumussalam wr wb. Membeli kurma dengan alat pembayaran seperti rupiah dan sejenisnya secara tidak tunai itu boleh dilakukan dengan margin yang disepakati dan bukan transaksi ribawi. Baik yang tidak tunai itu terjadi pada kurma sebagai barang yang diperjualbelikan atau terjadi pada harganya alat pembayarannya. Misalnya, A sebagai calon penjual kurma membeli kurma melalui daring. Kemudian, pembayarannya dilakukan dengan cara transfer dan harga beli sejumlah Rp 1 juta dengan perjanjian kurma akan dikirim tiga hari kemudian uangnya tunai, sedangkan kurmanya tidak tunai. Hal ini merujuk pada beberapa kaidah dan tuntunan. Pertama, beberapa hadis Rasulullah SAW antara lain dari 'Ubadah bin Shamit, "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam dengan syarat harus sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." HR. Muslim. Kemudian, hadis dari Umar Al-Faruq, “Jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali secara tunai.” HR. Muslim. Berdasarkan kedua hadis tersebut, para ahli hadis seperti asy-Syaukani dan ash-Shan'ani menjelaskan dua kaidah, a jika ada pertukaran jual beli antara barang-barang ribawi sejenis, maka harus diserahterimakan secara tunai. Seperti pertukaran antara rupiah dengan rupiah, maka harus dilakukan secara tunai dan dengan nominal yang sama tanpa margin. b Jika ada pertukaran jual beli antara barang-barang ribawi yang berbeda klaster atau kelompok maka harus dilakukan secara tunai tetapi boleh mengambil selisih atau margin. Hal ini seperti pertukaran di money changer antara mata uang rupiah dan mata uang rial. Pertukaran antara kedua mata uang tersebut harus dilakukan secara tunai, tetapi money changer sebagai penjual boleh mengambil selisih atau margin. Kedua, jika pertukaran jual beli yang terjadi itu antara kelompok barang-barang ribawi yang berbeda jenis, maka tidak ada syarat tunai dan nominalnya harus sama. Hal ini seperti jual beli kurma secara tidak tunai yang ditanyakan di atas. Contoh lainnya seperti membayar SPP sekolah secara tidak tunai lebih besar dari pada bayar tunai. Karena tidak termasuk kaidah atau ruang lingkup riba dalam hadis Ubadah sebagaimana dijelaskan as-Syaukani dan as-Shan'ani, sehingga kaidah yang berlaku adalah, “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Ini karena tidak nash yang melarang transaksi tersebut. Pada prinsipnya, setiap transaksi itu diperbolehkan selama tidak ada nash atau kesepakatan ahli fikih yang melarangnya. Tidak ada nash atau kesepakatan ahli fikih yang melarang jual beli kurma tidak tunai, sehingga diperbolehkan. Ketiga, kesepakatan para ulama sebagaimana dilansir oleh as-Syaukani, "Seluruh ulama telah sepakat/konsensus bahwa jual beli barang-barang ribawi dengan barang-barang ribawi lainnya yang berbeda illat itu boleh dilakukan secara tidak tunai dan berbeda nominalnya. Seperti menjual emas dengan gandum dan menjual perak dengan sya'ir, dan contoh-contoh lainnya." as-Syaukani, Nail al-Authar 5/230 Keempat, sudah menjadi kebutuhan umum masyarakat yang bertransaksi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik barang atau jasa dengan alat pembayaran, seperti keseharian yang terjadi di toko, pasar, swalayan, baik secara offline ataupun online sebagaimana kaidah tentang at-taisir wa raf'u al-haraj. Wallahu a'lam. Caramenghitung PPN 11 persen penerapannya bisa kita lihat, misalnya saja ada pengusaha yang kena pajak X menjual tunai barang kena pajak dengan harga Jual Rp 20.000.000. Pajak pertambahan nilai yang terutang = 11 persen x Rp 20.000.000 = Rp 2.200.000.

Fatwa of DSN-MUI / DSN-MUI / V / 2010 issued on June 3, 2010 states that selling and buying gold with non-cash payment is allowed mubah as long as the gold is not as the official medium of exchange subtituting money either through purchase or ordinary selling fatwa is controversial among scholars. Some argue that this fatwa is in contrast to the hadiths explaining that it is not allowed to sell an usury item with other item unless it is cash. It also should not be selled by loan although the items are in different types and sizes. The authors are interested in doing research with a focus on two issues, namely the method of istinbath in a fatwa of DSN law on non-cash trade in gold and its relation with National Sharia Board Fatwa / DSN-MUI / V / 2010 On Selling and Buying Gold Non-Cash with four Imam sect. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 83ISTIDLAL FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL TENTANG JUAL BELI EMAS TIDAK TUNAIAhmad Zakki ZamaniSekolah Tinggi Agama Islam STAI Kuala Kapuas, Kalimantan TengahEmail of DSN-MUI / DSN-MUI / V / 2010 issued on June 3, 2010 states that selling and buying gold with non-cash payment is allowed mubah as long as the gold is not as the offi cial medium of exchange subtituting money either through purchase or ordinary selling fatwa is controversial among scholars. Some argue that this fatwa is in contrast to the hadiths explaining that it is not allowed to sell an usury item with other item unless it is cash. It also should not be selled by loan although the items are in different types and sizes. The authors are interested in doing research with a focus on two issues, namely the method of istinbath in a fatwa of DSN law on non-cash trade in gold and its relation with National Sharia Board Fatwa / DSN-MUI / V / 2010 On Selling and Buying Gold Non-Cash with four Imam sect..Keywords Istidlal, Murabaha, IstinbathPendahuluan Islam telah menentukan aturan-aturan terkait dengan jual beli. Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terhadap peralihan hak atas suatu benda barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung tanpa perantara. Dalam jual beli sudah ditetapkan mengenai rukun dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu dalam prakteknya, jual beli harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh praktek jual beli di masyarakat, kadangkala tidak mengindahkan hal-hal yang dapat merugikan satu sama lain. Kerugian tersebut ada kalanya berkaitan dengan obyek ataupun terhadap harga. Kerugian ini disebabkan karena ketidaktahuan ataupun kesamaran dari jual beli jual beli emas yang terjadi pada masa sekarang khususnya di perbankan syariah, sebagian berpendapat jual beli tersebut mengandung unsur ketidaktahuan atau 1 Abdullah Siddiq al-Haji, Inti Dasar Hukum Dalam Islam, Cet I, Jakarta Balai Pustaka, 1993, h. H. Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet I, Jakarta Balai Pustaka, 1997, hlm. 83-98 Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016 84 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016kesamaran terhadap obyek yang telah diperjual belikan, baik penjual maupun pembeli tidak dapat memastikan wujud dari obyek yang telah diperjualbelikan berdasarkan tujuan akad, yakni jual beli emas dengan sistem murabahah atau yang lebih dikenal dengan investasi salah satu hadis nabi yang kualitasnya shahih menyebutkan tentang pelarang jual beli emas seperti “Telah menceritakan Yahya bin Yahya mengatakan saya telah membaca pada Malik dari Nafi ’ dari Aby Sa’id al Khudri sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan “janganlah menjual emas dengan emas kecuali sepadan, dan janganlah melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Janganlah jual beli sesuatupun dari emas dan perak itu yang tidak ada terhutang dengan yang ada tunai”4Asbabul wurud mengenai hadist ini adalah ketika Rasulullah ditanya tentang pertukaran antara gandum dengan syair, emas dan perak dengan pembayaran diakhirkan, maka rasulullah pun menjawabnya dengan hadist tersebut. Dalalah/isi kandungan hadist di atas adalah qoth’i; mengandung satu makna tentang pelarangan jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan jewawut dengan jewawut kecuali sepadan ataupun ditunaikan terlebih fatwa DSN yang masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini yaitu fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai No. 77 tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2010 menyatakan hukum mubah melakukan praktek jual beli emas secara tidak Dalam fatwa tersebut juga dicantumkan dan dipaparkan beberapa hasil keputusan Rapat Pleno DSN-MUI yang terjadi pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/ 3 Juni 2010 M yang salah satunya berbunyi Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi tentang larangan jual beli emas tidak tunai merupakan ahkam mu’allalah hukum yang memiliki illat dan illat-nya adalah tsamaniyah, yang mengandung arti bahwa emas dan perak pada masa wurud hadis merupakan tsaman harga, alat pembayaran atau pertukaran, uang. Dan saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang, tetapi memperlakukannya sebagai barang sil’ah. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam dalil fatwa DSN-MUI ini mengambil suatu illat hukum terhadap hadis Nabi yang mengartikan emas dengan lain yang menjadi dasar Fatwa DSN-MUI ini adalah pertimbangan latar belakang sosial budaya, salah satunya adalah kaidah fi kih “Hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan berlaku bersama adat tersebut dan batal tidak berlaku bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat”. 7Kegiatan jual beli emas tidak tunai ini terus berjalan sampai saat ini di perbankan syariah. Munculnya kegiatan investasi atau berkebun emas yang oleh pakar ekonomi 3 Ibid, h. Imam Nawawi, Terjemah Syarah Shahih Muslim, Jakarta Pustaka Azzam, 2010, h. 575 Ibid, h. Ibid, h. Al-Qarafi , Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, h. 228. 85syariah dan fi qh terdapat unsur riba, spekulasi, gharar, disamping itu proses kegiatannya, dalil-dalilnya, maupun fatwa DSN itu sendiri dianggap bermasalah oleh kalangan adanya permasalahan ini, penulis akan memfokuskan penelitian ini kepada pengambilan dalil illat hukum DSN-MUI mengenai jual beli emas tidak tunai ini agar dapat menemukan solusi berdasarkan petunjuk ilmiah dalam mengungkapkan kebenaran dan Teorti Istidlal Defi nisi Istidlal Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang Dalam proses pencarian, al-Qurân menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, ijma’ menjadi yang ketiga dan qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan lain-lain. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil nisi di atas menunjukan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan al-Qurân, kemudian As-Sunnah, lalu Ijma selanjutnya qiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada al-Qurân, As-Sunnah, Al-Ijma dan Al-Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain Istidlal .Pembagian Istidlal Istidlal terdiri dari dua macam, yaitu Istidlal Qiyasi dan Istidlal Istiqra’i istiqra’i disebut juga istinbathi 10a Istidlal Qiyasi Menurut Al-Jurzany, pengertian Qiyas adalah sebagai berikut“penuturan yang tersusun dari keputusan-keputusan qadhiyah, yang jika keputusan-keputusannya benar, mesti melahirkan suatu kesimpulan natijah.Menurut penelitian ahli mantiq, qiyas ada dua macam Pertama, qiyas iqtirani, kedua, qiyas istisna’i. Qiyas istiqrani adalah suatu qiyas yang dua muqadimahnya mengandung natijah secara implisit bil kuwah, tidak eksplisit bil fi ’il. Dan ada bentuk hamli ada yang Qiyas istisnai’ adalah qiyas yang natijahnya telah disebutkan atau naqidnya dengan nyata bil fi ’li. Qiyas istisna’i hanya tersusun dari dua qadiyah syarthiyah. Qiyas istisna’i mempunyai ciri pada kedua qadhiyahnya yaitu terdapatnya adat istisna’i, yakni “lakin” 8 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, Surabaya IAIN Sunan Ampel Press, 2011, h. Sukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Bandung Remaja Rosdakarya Offset, 1996 , h, Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, Riyadh Maktabah Al-Mamlakat Al-Arabiya, , h. Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 86 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016yang artinya akan tetapi, istisna’i ada yang ittishal artinya terikat ada yang infi shal artinya tidak terikat. Bentuk yang bermakna ittishal ada dua 12b Istidlal Istiqra’iistidlal Istiqra’i adalah proses berpikir dengan cara menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian yang cermat dan tepat. Istilah lain untuk istidlal istiqra’i ini adalah istinbathi induktif.13Sedangkan Para ulama ushul fi qih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa macam, antara lain istishab, maslahah mursalah, istihsan, sadduz zara’i, dan Teori Istinbath Hukum Pengertian Istinbath Istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.15 Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qurân dan hadis-hadis Nabi itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut Istinbath Hukum Islam a Metode Bayani Dalam khasanah ushul fi qh, metode ini sering disebut dengan al-qawa’idal-lugawiyyah, atau dilalat al-lafz. Inilah yang disebut dengan metode bayani, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Metode Ta’lili Metode ini diigunakan untuk mengali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun zhanni dan tidak juga ada ijma yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada, berdasarkan kegunaan dan kedudukannya, illat dibagi menjadi illat tasyri dan illat Metode Istislahi Metode istislahi adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Jadi biasanya, metode ini baru digunakan bila metode bayani dan ta’lili tidak dapat dilakukan. Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu kategori pertama, sasaran-sasaran 12 Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih, h Ibid, Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, Ujung Pandang Yayasan al-Ahkam, 1998 hm. Haidar Bagir dan Syafi q Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung Mizan Anggota IKAPI, 1996, h. Romli SA, Muqaranah Mazahib fi l Ushul, Jakarta Gaya Media Pratama, 1999, h. Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uṣul al-Fiqh, terj. dan Ahmad Qarib Semarang Dina Utama. 1994, h Ibid, 87maqasid yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syariat melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia. Dalam hal ini ada tiga kategori, yaitu daruriyah, hajiyyah, dan Beli Emas Secara Tidak Tunai Jual beli secara tidak tunai/kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara tunai pembayaran ditangguhkan atau diangsur.20Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai/kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak disepakati oleh sebagian besar ulama ijma, dalam jual beli, emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi22 dikarenakan illat-nya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang Dan dikarenakan sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang yang diberikan oleh Islam dalam jual beli emas dikenal dengan istilah sharf tidak bisa ditawar-tawar berdasarkan hadis berikut “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir salah satu jenis gandum dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah takaran atau timbangan harus sama dan dibayar kontan tunai. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” HR. Muslim no. 1584Sehingga syarat jual beli emas ada 2 yaitu 1 Jika emas ditukar dengan emas, maka syarat yang harus dipenuhi adalah 1 yadan bi yadin harus tunai, dan 2 mitslan bi mitslin timbangannya sama meskipun beda kualitas.2 Jika emas ditukar dengan uang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah yadan bi yadin harus tunai, meskipun beda timbangan nominal.Implementasi dalil ini dalam konteks kekinian memunculkan ragam persepsi, terutama saat emas atau perak tak lagi diposisikan sebagai media utama bertransaksi. Perbedaan pendapat pun muncul, baik di kalangan ulama salaf atapun khalaf kontemporer.Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, dengan penjelasan sebagai berikut 19 Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uṣul al-Fiqh, terj. dan Ahmad Qarib, h Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, JakartaDepartemen Pendidikan Nasional, 2008, h. Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi , h Benda-benda yang telah ditetapkan ijma’ atas keharamannya karena riba ada enam macam yaitu emas, perak, gandum, syair, dan kurma, dan garam. Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, Jakarta Hasyimi Press, 2010, Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi , h Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 88 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016a. Ulama yang tidak membolehkan jual beli emas secara tidak tunai Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi ’i dan Ahmad Hanbali.b. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu’ah, mufti Jual Beli Emas Tidak Tunai Menurut Para Ulama Pandangan Ulama Empat MazhabTelah disepakati oleh sebagian besar ulama ijma, emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi24 karena illatnya yaitu sebagai patokan harga dan merupakan alat pembayaran yang fungsinya seperti mata uang sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang, sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi ’i dan Ahmad Hanbali.Dinyatakan dalam hadis Ubadah bin Shamit ra, beliau berkata ﺮﻤﺘﻟﺍ ،ﲑﻌﺸﻟﺎﺑ ﲑﻌﺸﻟﺍ ،ﱪﻟﺎﺑ ﱪﻟﺍ ،ﺔﻀﻔﻟﺎﺑ ﺔﻀﻔﻟﺍ ،ﺐﻫﺬﻟﺎﺑ ﺐﻫﺬﻟﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ- ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ27 ٍﺀﺍﻮﺴﺑ ًﺀﺍﻮﺳ ﹴﻞﺜﲟ ﹰﻼﺜﻣ ﺢﻠﳌﺎﺑ ﺢﻠﳌﺍ ،ﺮﻤﺘﻟﺎﺑ“Telah bersabda Rasul Saw “Emas dengan emas, perak dengan perak, biji gandum dengan biji gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus semisal dan sama”Benda-benda ribawi menurut ijma ada enam, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi ’i illat emas dan perak karena menjadi patokan harga dan yang bisa disamakan dengan Jika melakukan jual beli emas dan perak mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Dan pendapat ini disetujui pula oleh Imam ulama Hanafi yah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukat, dan sama Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas keharamannya karena riba ada enam macam yaitu emas, perak, gandum, syair, dan kurma, serta garam. Syaikh Al-Alamah Muhammad, fi qh emapat mazhab, Jakarta Hasyimi Press, 2010, h. Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi , h. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi ’i, ,h Hadis, “shahih Muslim”, hadis no. 2970 dalam Mausu’at al-Hadis al-syarif, edisi 2, Global Islamic Sofware Company, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang Pustaka Rizki Putra, 2001, Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 5, Jilid V ,Semarang Pustaka Rizki 89Jadi menurut jumhur ulama khususnya Imam Empat Mazhab, bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat, sedangkan kurma, gandum, sya’ir, dan garam juga memiliki illat tersendiri, dan hukumnya haram jika diperjualbelikan secara Ulama Kontemporer Para ulama kontemporer seperti yang disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu’ah, mufti Mesir yang membolehkan jual beli emas secara tidak yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi saw Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda “Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak.” Muttafaq AlaihiMenurut Syekh Ali Jumu’ah yang dikutip dalam fatwa, emas dalam hadis ini mengandung illah yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul ﺎﻣﺪﻋ ﻭ ﺍﺩﻮﺟﻭ ﻪﺘﻠﻋ ﻊﻣ ﺭﻭﺪﻳ ﻢﻜﳊﺍ“hukum itu berputar berlaku bersama ada atau tidak adanya illat”.Ketika saat ini kondisi itu telah berubah, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar berlaku bersama dengan illat-nya, baik ada maupun dasar itu, maka tidak ada larangan syara’ untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan dalam fatwa DSN-MUI mengutip pendapat Ibnu Taymiyah yaitu,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya tamatsul, dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga uang.” 32Selanjutnya kutipan dari Ibnul Qayyim lebih lanjut menjelaskan, “Perhiasan dari emas atau perak yang diperbolehkan, karena pembuatan menjadi perhiasan yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan Putra, 2003 , CD Room Hadis, ”Shahih al-Bukhari”, hadis no. 2031 dalam Mausū’at al-Hadīts al- Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, h Ibid, h Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional !"$%&'!"!*+,!*+,'!-.%/0!1%/2!3!4!%!4!%'!-.567"'89"';6?!!A-BC8"2'!-.567"'DE;FG2"H 90 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016merupakan jenis harga uang. Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan yang terbuat dari emas atau perak tersebut, dan tidak berlaku pula riba dalam pertukaran atau jualbeli antara perhiasan dengan harga uang, sebagaimana tidak berlaku riba dalam pertukaran atau jual beli antara harga uang dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan menjadi perhiasan ini, perhiasan dari emas tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga tidak lagi menjadi uang dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang menurut Ulama Kontemporer emas sudah berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga uang maka boleh dilakukan jual beli terhadapnya baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga uang.AnalisisMetode Istinbath Hukum Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak TunaiMetode istinbath yang digunakan DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai adalah berdasarkan al-Qurân, hadis Nabi Saw, kaidah ushul, kaidah fi qh, dan pendapat para ulama, dengan penjelasan sebagai berikut1 Firman Allah SWT dalm QS Al-baqarah Ayat 275 "… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"Lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya tentang jual beli yaitu mencantumkan ayat al-Qurân di atas, yaitu dalil al-Qurân yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual beli yaitu QS. al-Baqarah ayat Nabi SawDalil-dalil dari hadis Nabi Saw ada enam hadis yang digunakan untuk menjadi landasan fatwa, empat diantaranya yaitu a Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan emas haruslah secara Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara Hadis tentang larangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang Hadis tentang larangan untuk menjual perak dengan emas secara piutang tidak tunaiEmpat hadis di atas secara tegas dan eksplisit melarang transaksi emas dengan cara tidak tunai tangguh/cicil .Sedangkan dua hadis lain berkaitan dengan dasar dalam berjual beli yaitu a Hadis tentang jual beli harus berdasarkan kerelaan pihak yang Ibid. 91b Hadis tentang musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang hadis diatas menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam mengambil sebuah hukum termasuk hukum berjual-beli, yang mengisyaratkan bahwa pengambilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang DSN-MUI, saat ini masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas dan perak sebagai uang, tetapi sebagai barang sil’ah. Karena itu, jual beli emas dan perak secara tangguh inisesuai dengan kaidah ushul yang menjadi landasan Kaidah Ushul Kaidah Ushul dalam fatwa yang digunakan adalah “hukum berputar berlaku bersama ada atau tidak adanya illat”. Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnyamerupakan kelaziman dalam mengambil ini mereferensi dari buku yang ditulis Ali Ahmad Kaidah Fiqih DSN-MUI menyebukan 4 kaidah fi kih, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu a Adat kebiasaan masyarakat dijadikan dasar penetapan Hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan berlaku bersama adat tersebut dan batal tidak berlaku bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uangdalam muamalat. c Setiap hukum yang didasarkan pada suatu urf tradisi atau adat kebiasaan masyarakat menjadi batal tidak berlaku ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah. Dan yang keempat adalah kaidah dasar dalam bermualah d Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali adalil yang mengharamkannya. 5 Pendapat Para Ulama Yang Membolehkan Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang sil’ah yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsamanharga, alat pembayaran, uang.Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsamanharga, alat pembayaran, uang. Oleh karenanya tidak terjadi riba dalam pertukaran atau jual beli antara perhiasan dengan harga uang, sebagaimana tidak terjadi riba dalam pertukaran atau jual beli antara harga uang dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang Kedua, Pada zaman ini manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli 34 Fatwa DSN_MUI Nomor77/DSN-MUI/V/2010, h Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 92 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli emas secara angsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka akan mengalami kesulitan. Sekiranya pintu jual beli emas secara angsuranini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang, masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak Dengan demikian, dalam penetapan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai DSN-MUI mengacu pada prosedur penetapan metode Istidlal kemudian diistinbathkan dengan hukum mubah dalam jual beli emas tidak tunai, metode yang digunakan DSN yaitu metode Istinbath Istislahi yaitu penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa fatwa yang dikeluarkan DSN secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah dalam mengeluarkan Relevansi Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Dengan Ulama Empat Imam MazhabAnalisis Pandangan Ulama Empat Imam Mazhab Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Jumhur ulama sepakat berdasarkan hadis-hadis nabi tentang jual beli emas, maka disimpulkan benda-benda yang diharamkan riba yang dinashkan dengan ijma ada enam, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi ’i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan benda-benda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan Imam Syafi ’i illat keharaman yang demikian hanya dengan emas dan perak melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Dan pendapat ini disetujui Imam ulama Hanafi yah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukat, dan sama Ahmad bin Hanbal menjadikan hadis tersebut sebagai sebab illat dimana emas dianggap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha’ dengan dua sha”.Keempat hadis yang melarang berjual beli emas secara tidak tunai ini telah menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata cara mentransaksikannya diingatkan begitu rinci oleh Nabi Saw. Mengingat emas adalah 35 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam,, Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 5, Jilid V , , 93logam mulia yang secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang menyimpan nilai dan sebagai pengukur nilai barang lain, sehingga emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran atau Syafi ’i dan Imam Malik menginterpretasikan hadis riba tersebut secara berbeda. Dalam pandangan mereka, dua jenis pertama mewakili penentu harga tsaman sedangkan empat jenis barang yang lain terkait dengan makanan. Dengan paham ini segala bentuk jual beli yang dibayar dengan uang secara hukum dibenarkan. Menurut Imam Syafi ’i uang tidak bisa dikategorikan ke dalam makilat maupun mauzunat, melainkan terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Lebih jauh karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar tsamaniya, pendapat Imam Syafi ’i tersebut memberikan banyak kebebasan dan lebih pragmatis. Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga didukung oleh hadis Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk memperoleh penghidupan”.38Konsep Imam Syafi ’i mengenai tsamaniah membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi-berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya. Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan manusia. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut. Meskipun demikian Imam Syafi ’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang dikaitkan dengan metode istidlal dan istinbath hukum yang dilakukan oleh para ulama empat mazhab, hanya melakukan kajian fahmul hadis pemahaman hadis secara tekstual dengan menyandarkan beberapa pendekatan historis seperti asbababul wurud hadis, dan pengambilan illat hukum emas yang masih tetap sebagai tsaman. Dapat disimpulkan dari pendapat imam empat mazhab, walaupun uang dan emas adalah dua jenis yang berbeda, akan tetapi keduanya mempunyai illat yang sama yaitu mempunyai nilai tukar. Karenanya keduanya boleh ditukarkan dengan syarat harus Fatwa DSN/MUI NOMOR77/DSN-MUI/V/2010 tentang Kebolehan Jual-Beli Emas Secara Tidak TunaiMenurut DSN-MUI hadis tentang pelarangan jual beli emas tidak tunai mengandung illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat pada masa dahulu. Ketika saat ini kondisi itu telah berubah, perubahan kondisi menyebabkan perubahan Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam. h. 205Ahmad Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 94 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan bahwa, emas dan perak adalah barang sil’ah yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsamanharga, alat pembayaran, uang. Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsamanharga, alat pembayaran, uang. Oleh karenanya tidak terjadi riba dalam pertukaran atau jual beli antara perhiasan dengan harga uang, sebagaimana tidak terjadi riba dalam pertukaran atau jual beli antara harga uang dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai Dengan Ulama Empat Imam MazhabDalam hal jual beli emas secara tidak tunai para ulama berbeda pendapat di antaranya Pertama melarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari mazhab Hanafi , Maliki, Syafi 'i, dan Hambali. Kedua membolehkan; dan ini pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, disini terjadi perbedaan pandangan mengenai illat pada obyek jual belinya yaitu emas. Dan DSN-MUI menggunakan pada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, Ibnu Taimiyah berpendapat,“Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya tamatsul, dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagaiharga uang.”40Imam Syafi 'i berpendapat bahwa menjual emas dan perak lain jenis dengan berbeda lebih banyak adalah boleh, tetapi jika sejenis emas dengan emas tidak diperbolehkan dengan kata lain riba, sedangkan Imam Syafi 'i mensyaratkan agar tidak riba yaitu sepadan sama timbangannya, takarannya dan nilainya spontan dan bisa diserah terimakan. Dan mereka sepakat bahwa jual beli mata uang harus dengan syarat tunai, tetapi mereka berbeda pendapat tentang waktu yang membatasi. Imam Hambali dan Syafi 'i berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimanya pada saat transaksi atau penerimaannya terlambat. Tetapi imam Maliki berpendapat jika penerimaan pada majelis terlambat, maka jual beli tersebut batal, meski kedua belah pihak belum dan uang kertas itu sama pada dasarnya hal itu dikarenakan emas diterima oleh masyarakat sebagai alat penukar tanpa perlu dilegalisasi oleh pemerintah bank sentral, sedangkan uang kertas diterima sebagai alat penukar karena pemerintah mengatakan behwa uang kertas itu adalah alatpembayar yang Fatwa DSN-MUI Nomor77/DSN-MUI/V/2010, h Ibid, h. Prathama Rahardja, Uang Dan Perbankan, Jakarta Rineka Cipta,Cet-III, 1997, h. 11. 95Dalam hal inilah kita dapat melihat bahwa uang dapat mengambil bentuk barang yang nilainya dianggap sesuai dengan kemampuan dan perak memiliki nilai yang dianggap sebagai komoditas untuk menyimpan Khaldun menulis, tuhan menciptakan dua logam mulia emas dan perak itu untuk menjadi alat pengukur nilai/ harga bagi segala dalam Ighatsah menambahkan, tuhan menciptakan dua logam mulia itu bukan sekedar sebagai alat pengukur nilai, atau untuk menyimpan kekayaan, tapi juga sebagai alat ulamamazhab yang berpendapat demikian itu ialah Imam Malik, Ahmad dan sebagian ulama Syafi ’iyyah. Alasan mereka ialah karena dengan cara demikian itu agar tercapai tujuan agama Islam mencegah riba dan menutup kemungkinan dari praktek riba dapat mengamati secara jelas perbedaan yang terjadi antara ulama empat Mazhab dan DSN yang mengambil rujukan ulama kontemporer, maka penulis membuat tabel sebagai berikutPemahaman Hadis Jual Beli Emas antara DSN dan Ulama Empat MazhabHadis-Hadis Yang Dijadikan Dalil Jual Beli Emas Nabi bersabda“Jual beli emas dengan emas, perak dengan perak,gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam dengan syarat harus sama dan sejenis serta secara jenisnyaberbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai. -Yang dijadikan illat dalam hadis ini adalah emas dan perak, dimana keduanya merukan media pertukaran dan transaksi di masyarakat. -Hukum berputar berlaku bersama dengan illatnya, baik ada maupun tiada, maka ketika saat ini kondisi itu telah tiada , maka tiada pula hukum tersebut. -Tidak ada larangan syara’ menjual belikan emas yang telah dibuat secara angsuran. -Syaikh Ali Jum’ah Emas dan perak yang telah dibuat menjadi perhiasan boleh dilakukan jual beli secara angsuran -Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani Emas dan perak yang sudah dibentuk perhiasan sudah keluar dari fungsi sebagai tsaman, maka boleh dilakukan dengan tidak tunai. -Ibnu Taimiyah Boleh melakukan jual beli emas dan perak selama dibentuk menjadi perhiasan bukan emas batangan baik dilakukan secara tunai maupun tidak. -Ibnu Qayyim -Jumhur ulama sepakat benda-benda yang diharamkan riba berdasarkan hadis ada enam, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam, akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. -Imam Syafi’i dan Imam Malik illatkeharaman pada hadis hanya dengan emas dan perak saja. Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah -Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan peraksecara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yangditimbang. -Imam Ahmad bin Hanbal sebab illat dalam hadis ini dimana emas dianggap sebagai takaran atau timbangan Nabi bersabda“Jual beli emas dengan perak adalah riba kecualidilakukan secara tunai.” 42 Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, Jakarta Publising House, 2012, h. As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Jilid III, terj. Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam III, Surabaya Al-Ikhlas, 1995, h. Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 96 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016Dari Abu Sa’id al-Khudri, bersabda “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali samanilainya dan janganlah menambahkan sebagian atassebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perakkecuali sama nilainya dan janganlah menambahkansebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjualemas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yangtunai.” Pembuatan emas dan perak menjadi perhiasan telah keluar ari tujuannya sebagai harga dan telah dimaksudkan untuk perniagaan, maka tidak ada larangan untuk memperjual belikan sejenis secara tidak tunai. dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab. Kebolehan jual beli emas tidak tunai selama emas tersebut dibentuk dan dijadikan perhiasan. Keharaman emas disebabkan emas bukan sebagai dan dijadikan barang sila’. Al Jam’u wa at-Taufiq Dengan metode Istidlal Qiyashi Istisna’i Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunai. Tetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunai Akan tetapi emas bukan perhiasan = tunai Dari tabel diatas penulis memberikan perbandingan yang menjadi letak perbedaan dalam memahami hadis yang dijadikan dalil sebagai pelarangan jual beli emas tidak dapat disimpulkan bahwa letak perbedaan tersebut terdapat pada penetapan illat emas itu sendiri baik sebagai harga maupun sebagai setelah penulis membuat kesimpulan statement terhadap masing-masing pendapat baik DSN yang mengambil pendapat Ulama kontemporer dan Ulama empat penulis berpendapat kedua kelompok tersebut masing-masing memberikan pendapat dengan dalil-dalil yang rajih kuat.Agar dapat menghilangkan perbedaan tersebut maka penulis melakukan metode Al-jam’u wat Taufi q yaitu menghubungkan dua dalil yang Nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian. Maka untuk melakukan prosestersebut penulis menggunakan jalan Istidlal Qiyashi Istisna’i yang telah diambil kesimpulan statement yaitu Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunaiTetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunaiAkan tetapi emas bukan perhiasan = tunai Jadi antara fatwa DSN dan Ulama Empat mazhab pada dasarnya tidak ada perbedaan atau ikhtilaf pendapat tentang kebolehan jual beli emas tidak tunai, baik ulama kontemporer yang dirujuk DSN maupun ulama empat imam mazhab saling melengkapi dalam menjelaskan makna pemahaman hadis tersebut. Dimana selama emas tersebut tidak dijadikan perhiasan barang maka dalam melakukan jual belinya harus tunai sedangkan jika dijadikan perhiasan maka boleh dijualbelikan secara kredit. 97SimpulanBerdasarkan hasil pengamatan serta membanding pendapat DSN-MUI dan Empat Imam Mazhab, dimana DSN mengambil rujukan dari pendapat Ulama kontemporer seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Ali Jum’ah yang berpendapat bahwa emas dan perak yang sudah dibentuk menjadi perhiasan adalah barang sil’ah yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa dan bukan merupakan tsaman harga, alat pembayaran, uang, sedangkan pendapat ulama empat Imam Mazhab sepakat bahwa emas yang bukan perhiasan dalam jual belinya disyaratkan tunai dan emas termasuk kedalam barang ribawi. Penulis berpendapat kedua kelompok tersebut masing-masing memberikan pendapat dengan dalil-dalil yang rajih kuat. Dengan menggunakan metode al-jam’u wat taufi q yaitu menghubungkan dua dalil yang nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian dengan menggunakan jalan Istidlal Qiyashi Istisna’i dapat disimpulkan Emas perhiasan boleh dijualbelikan tidak tunai, dan Emas bukan perhiasan haram dijualbelikan tidak tunaiTetapi Emas perhiasan = boleh tidak tunaiAkan tetapi emas bukan perhiasan = tunaiJadi antara fatwa DSN dan ulama empat mazhab pada dasarnya tidak ada perbedaan atau ikhtilaf tentang kebolehan jual beli emas tidak tunai, baik ulama kontemporer yang dirujuk DSN maupun ulama empat imam mazhab saling melengkapi dalam menjelaskan makna pemahaman hadis tersebut. Dimana selama emas tersebut tidak dijadikan perhiasan barang maka dalam melakukan jual belinya harus tunai sedangkan jika dijadikan perhiasan maka boleh dijualbelikan secara PustakaAbdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib,“Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam”, Malang Cahaya Tauhid Press, 2010.Ahmad, Imam bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, Surabaya Al-hidayah.Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi ’i, Jakarta Widjaya Jakarta, 1974.Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Ibnu Majah, Jakarta Pustaka Azzam, 2005.Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugul Maram, terjemahan A. Hasan Bandung Diponegoro, 2000.Antonio, Mohammad Syafi 'i, Bank Syari'ah dan Teori dan Praktek, Jakarta Gema Insani Press, 2003.Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Cet II, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2009.Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang Pustaka Rizki Putra, 2001.Ahmad Zakki Zamani Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasional 98 AL-BANJARI Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadis 5, Jilid V , Semarang Pustaka Rizki Putra, 2003 .Hadi, Muhammad Sholikul, Pegadaian Syariah, Edisi Pertama. Jakarta Salemba Diniyah, 2003.Huzaemah, Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997 .Haq, Hamka, Falsafah Ushul Fikih, Ujung Pandang Yayasan al-Ahkam, 1998.Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, Jakarta Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 200.Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang Pustaka Zaman, 2007.Imam Abi Al-Husein Muslim, “Shahih Muslim”, Juz IBairut-Libanon Darul Fikr, tt . M. Dzul Fadli Wahyuddin AbdullahKhaerul AqbarThis research aimed to reveal gold whose function as a commodity has fallen out of the category aṣnaf al-riba or not. This research was prepared using the normative method or reference study by examining classical Ulama books. The results of this study concluded that gold which functions as a commodity is not excluded from the aṣnāf al-riba category so that the transaction must pay attention to the rules of usury, including that it cannot be bought and sold without Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, Jakarta Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank IndonesiaHimpunan Fatwa DewanSyariHimpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Edisi I, Jakarta Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, 200.Tahido HuzaemahPengantar PerbandinganMazhabHuzaemah, Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997.Fathu al-Qorib al-Mujib, Surabaya Al-hidayahImam AhmadHusainAhmad, Imam bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, Surabaya Al-hidayah.Idris AhmadFiqh Menurut MazhabSyafiAhmad, Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi 'i, Jakarta Widjaya Jakarta, 1974.Abdul AnshoriGhofurAnshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Cet II, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2009.Abdul IdrisFatahIdris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang Pustaka Zaman, 2007.Taisirul Allam Syarah 'Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, " Taisirul ' Allam Syarhu Umdatil AhkamDaftar Pustaka Abdullah Bin AbdurrahmanDaftar Pustaka Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah 'Umdatul Ahkam, terj. Fathul Mujib, " Taisirul ' Allam Syarhu Umdatil Ahkam ", Malang Cahaya Tauhid Press, 2010.Shahih Muslim " , Juz IBairut-Libanon Darul Fikr, ttImam Abi Al-Husein MuslimImam Abi Al-Husein Muslim, " Shahih Muslim ", Juz IBairut-Libanon Darul Fikr, tt.Hamka HaqHaq, Hamka, Falsafah Ushul Fikih, Ujung Pandang Yayasan al-Ahkam, 1998.Haidar Bagir Dan Syafi Q BasriHaidar Bagir dan Syafi q Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung Mizan Anggota IKAPI, 1996, h. 25.

ContohLaporan Penjualan Pulsa.Dalam proses penjualan "Pulsa" tersebut saya merasa bangga dan senang karena dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dibidang kewirausahaan yang meliputi bagaimana cara menjual dan memperkenalkan produk saya kepada orang lain serta menangani pembeli, ternyata di dalam praktiknya lebih mudah dibandingkan
Ada seorang individu yang membutuhkan uang. Ia tidak berani berutang kepada orang lain disebabkan kebutuhannya kali ini jumlahnya besar. Sebut saja misalnya Rp200 juta. Sementara mau utang ke bank, ia takut bunga bank karena dalam keyakinannya bunga bank itu riba. Lalu ia berpikir, apa solusinya? Selintas sulit dibenaknya untuk memecahkan jawabannya. Kemudian ia menghubungi saudaranya agar sudi kiranya membeli rumah yang dimilikinya. Terjadilah permufakatan, bahwa rumah tersebut dibeli. Harganya pas 200 juta. Kemudian terjadilah dialog, mengapa rumah tersebut dijual? Setelah ditelusuri, si saudara ini ternyata baru tahu bahwa akar masalahnya adalah kebutuhan dana yang tidak bisa ditunda. Pinjam ke bank tidak berani karena takut bunga. Pinjam ke dirinya, juga tidak berani lantaran jumlahnya besar. Mau dibatalkan akad jual belinya juga tidak enak karena akad jual beli sudah terlanjur si saudara ini memberi solusi, bahwa rumah tersebut akan dijualnya kembali kepada pemilik pertama, karena bagaimanapun itu adalah saudaranya sendiri. Tapi pemilik pertama tidak mau karena jumlah uangnya itu besar dan ia butuh dana itu dalam bentuk cash. Antara kebutuhan dan rasa tidak enak, lalu terbitlah solusi, bahwa rumah tersebut akan dijual secara kredit kepadanya. Selisih cash dan kredit disepakati sebesar Rp25 juta yang akan dilunasi selama 2 tahun. Tercapailah kesepakatan deal antara keduanya. Yang jadi masalah pokok antara kedua orang tersebut, adalah bahwaKejadian peralihan antara menjual dan membeli tadi terjadi dalam hari yang samaKejadian akad jual beli yang kedua terjadi setelah tahu akar masalahnyaApakah akad kedua ini bisa disebut sebagai hilah rekayasa menghindari riba yang diharamkan?Tidak diragukan lagi bahwa akad jual beli di atas adalah masuk kategori akad bai'ul 'inah. Abu 'Ubaid Ahmad ibn Muhammad al-Harawy menjelaskan bahwasanyaالعينة هو أن يبيع الرجل من رجل سلعة بثمن معلوم إلى أجل مسمى ثم يشتريها منه بأقل من الثمن الذي باعها به قال وإن اشترى بحضرة طالب العينة سلعة من آخر بثمن معلوم وقبضها ثم باعها من طالب العينة بثمن أكثر مما اشتراه إلى أجل مسمى ثم باعها المشتري من البائع الأول بالنقد بأقل من الثمن فهذه أيضا عينة وهي أهون من الأولى وهو جائز عند بعضهم Artinya "Al-'Inah merupakan transaksi jual beli suatu barang oleh pihak pertama penjual dengan pihak kedua pembeli dengan harga yang diketahui sampai suatu tempo yang telah ditentukan kemudian pihak pertama membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih sedikit dibanding ketika menjualnya, dengan harga yang diketahui juga. Disampaikan juga bahwa bai'u al-inah adalah jika seorang thalibu al-'înah meminta orang lain membeli suatu barang darinya dengan harga yang maklum, lalu diserahkannya barang tersebut, kemudian meminta agar pembeli menjual kembali barang ke dia dengan harga yang lebih tinggi dibanding saat dia membeli darinya, dengan tempo yang disebutkan disepakati. Lalu pembeli melakukan apa yang diperintahkannya dengan menjual barang tersebut ke penjual pertama dengan harga yang lebih sedikit dari saat dia membelinya. Hal sebagaimana disebutkan terakhir ini juga termasuk akad 'înah, meskipun kelihatannya lebih ringan dari akad yang pertama. Dan hal semacam ini adalah boleh menurut sebagian ulama'." Al-Nawawy, al-Majmu' Syarah Al-Muhadźab, Jedah Maktabah al-Irsyâd, tt. Juz 10/143 Ada dua model bai'u al-'inah dalam keterangan di atas, yaitu 1. Jual beli 'inah dengan inisiatif pemilik harta shahibu al-tsaman, dan 2. Jual beli 'inah dengan inisiatif pemilik barang shahibu al-sil'ahBai' 'inah dengan inisiator shahibu al-tsaman biasanya dipraktikkan dalam produk pembiayaan, sementara orang yang mencari pembiayaan kredit tidak memiliki barang apapun yang bisa dijadikan jaminan. Lain halnya dengan yang kedua, meskipun juga diterapkan pada produk pembiayaan yang sama. Pada bank konvensional, akad ini umumnya diterapkan pada produk kredit dengan agunan. Anda pernah pinjam uang di bank konvensional dengan agunan bukan? Nah, pola itu berubah jadi akad bai'u al-'înah pada bank syariah, tentunya dengan basis akad jual kontroversi dalam praktik bai'u al-'înah ini. Dari keempat mazhab besar yang masyhur, hanya Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah yang menyatakan bahwa praktik tersebut adalah boleh. Tiga mazhab lainnya menghukumi tidak boleh dengan alasan bahwa praktik tersebut hanyalah berusaha menghindar dari praktik riba utang riba qardly. Hakikatnya pelaku hendak mencari pinjaman dan berusaha melepaskan diri dari jebakan pasal كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا segala utang piutang yang mensyaratkan manfaat bagi pihak yang memberi utang, adalah riba, oleh karena itu ia bersiasat dengan wasilah jual beli 'inah ini. Dasar dalil yang dipergunakan tiga kelompok mazhab di atas adalah hadits Nabi SAW. إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُـمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ شَيْئٌ حَتَّى تَرْجِعُواْ إِلَى دِيْنِكُمْArtinya “Apabila kalian melakukan jual beli dengan cara inah, berpegang pada ekor sapi, kalian ridha dengan hasil tanaman dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian dikuasai oleh kehinaan yang tidak ada sesuatu pun yang mampu mencabut kehinaan tersebut dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” HR. Abu Dawud dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma.Lalu pertanyaannya, adalah mengapa justru Imam Syafii radliyallâhu 'anhu dan pengikut mazhabnya justru membolehkan bai' 'înah? Apakah mereka tidak tahu akan hadits tersebut? Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikh Yahya Syaraf al Nawàwy rahimahullah Bahwa dalam pandangan Imam al-Syafii, hadits/atsar yang dipegang oleh Abu Hanifah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tersebut perlu ditafshil. Titik tekan pendapat Imam Abu Hanifah adalah larangan jual beli secara tangguh. 'Inah yang dilarang dalam pendapat Abu Hanifah adalah yang diawali dengan jual beli tangguh dan tidak disebutkan sampai kapan waktu jatuh temponya. Itu pula yang melatarbelakangi mengapa Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal juga melakukan pelarangan yang sama dan menganggapnya sebagai akad yang rusak. Kedua imam mazhab yang terakhir mendasarkan diri pada upaya mencegah terjadinya perselisihan akibat praktik jual beli tangguh tersebut bai' bi al-ajal. Jadi, dalam hal ini mereka berdua memakai peran saddu al-dzarî'ah. Al-Zuhaili, al-Mu'amalatu al-Mâliyah al-Mu'âshirah, Beirut Dâr al-Fikr, 2007 45.Dalam pandangan al-Syafii, atsar sahabat di atas justru bertentangan dengan ayat tentang dihalalkannya jual beli QS. Al-Baqarah 275. Keraguan Imam Syafii muncul terhadap dhahir teks yang berisi celaan terhadap praktik 'inah, apakah celaan itu murni karena larangan adanya dua harga yang berbeda dalam satu sil'ah barang, ataukah karena dua harga yang berbeda dalam satu akad jual beli cash dan kredit. Menurutnya, 'inah yang dilarang itu adalah manakala dalam satu barang itu dijual dengan tanpa disertai kejelasan harga dan kejelasan pilihan akad. Jadi, celaan itu bukan sebab semata karena jual beli kredit dan dilanjut dengan jual beli tangguh yang dilaksanakan dalam satu waktu. Al-Syafii, al-Umm, Beirut Dâr al-Ma'rifah, 1990 Juz 3, halaman 79.Ingat bahwa dalam pandangan mazhab Syafii, jual beli yang diperbolehkan pada dasarnya ada dua bentuk, yaituJual beli yang mana kedua barang yang hendak dipertukarkan oleh kedua pihak yang bertransaksi sama-sama di bawa ke majelis beli yang mana salah satu barang tidak dibawa oleh kedua pihak yang bertransaksi. Contoh praktik dari model transaksi yang kedua ini adalah penerapan akad salam dan jual beli tangguh. Namun, untuk yang kedua ini, syarat yang wajib dipenuhi adalah harus jelas waktunya kapan barang yang belum diserahkan itu akan diterimakan ke lawan transaksi. Ketidakjelasan inilah yang merupakan akar masalah bagi tidak sahnya akad. Al-Syafii, al-Umm, Beirut Dâr al-Ma'rifah, 1990 Juz 3, halaman 3Berdasarkan batasan ini, di dalam 'inah, menurut mazhab Syafii, masing-masing akad jual beli itu dilakukan secara sah. Baik jual beli secara cashnya, maupun jual beli secara kreditnya. Jika keduanya sah, lantas mengapa harus berubah hukumnya menjadi diharamkan? Adapun dalam mazhab Hanafi, jual beli tangguh memang dinyatakan sebagai tidak boleh disebabkan laba yang merupakan selisih antara kredit dan cash dipandang sebagai riba. Hal ini berbeda dengan konsepsi dasar mazhab Syafii, yang mana konsep dasar riba pada jual beli tangguh adalah selagi tidak mengikut kaidah الربح مالم يضمن laba yang tidak bisa dijamin saat transaksi. Pertanyaannya, bagaimana laba itu dijamin dalam mazhab Syafii? Dengan mencermati konsep bai' salam, sahnya akad adalah manakala diketahui kapan waktu penyerahan barang yang tidak dibawa. Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam riba, maka harus ditentukan waktunya, kapan barang/harga diserahkan. Dalam praktik 'inah dewasa ini, akad 'inah di atas termasuk yang lazim. Waktu penyerahan barang/harga sudah ditentukan di muka dan di awal transaksi. Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan di atas, bahwa waktu akhir penyerahan adalah 2 tahun. Andaikan tidak ada ketetapan waktu ini, maka kedua mazhab sepakat bahwa transaksi bai' bi al ajal jual beli tangguh adalah tidak sah. Jika jual beli tangguh tidak sah, maka akad yang mengiringi berikutnya juga tidak sah pula. Itulah sebabnya dalam atsar di atas disampaikan celaan itu. Walhasil, bai 'inah yang dicela dalam atsar adalah karena praktik jual beli tangguh yang tidak diketahui batasan waktu akhir penyerahan barang/harga. Jadi, celaan itu bukan sebab memang terlarangnya 'inah yang disertai jual beli tangguh yang disertai batasan waktu penyerahan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah itu bukan hanya sekedar rekayasa sistemik saja agar terhindar dari riba? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada yang perlu diingat bahwa secara dhahir nash bunyi eksplisit teks, baik jual beli kredit maupun jual beli secara cash, keduanya adalah boleh bila berdiri secara terpisah. Saya membeli barang dari A seharga 100 ribu rupiah secara cash. Jual beli saya ini adalah sah. Kemudian hari itu juga, saya menjual barang tersebut ke orang lain secara kredit dengan jangka waktu pelunasan selama 1 tahun, dengan harga 200 juta rupiah. Apakah sah? Jawabnya adalah sah. Mengapa? Karena jelas waktu pelunasannya. Bagaimana jika barang itu saya jual kembali ke penjual pertama juga secara kredit, di hari itu juga, dengan ketetapan waktu pelunasan selama 2 tahun? Sahkah? Jawabnya adalah sah juga. Alasannya, karena barang yang saya jual sudah menjadi milik saya. Mau saya jual ke siapapun dan kapan pun, barang itu adalah hak saya. Jadi tidak diragukan lagi bahwa jual beli dengan model seperti ini adalah boleh. Lantas bagaimana bila disediakan alurnya dan sistemnya? Saya akan beli barang A secara cash dari anda, tapi dengan kesediaan bahwa anda harus membelinya lagi dari saya secara kredit. Atau sebaliknya, anda harus beli barang A dari saya dengan harga sekian, tapi dengan kesediaan anda harus menjualnya lagi ke saya secara cash dengan harga sekian lebih rendah dari harga beli. Bolehkah akad seperti ini? Nah, dalam wilayah ini justru malah mazhab Hanafi menyebutnya sebagai sah. Nama akadnya adalah bai' 'uhdah atau akad sende. Mazhab Syafii justru menghukuminya sebagai makruh. Syeikh Abdullah Ba'alawi dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin menjelaskan bahwa بَيْعُ اْلعُهْدَةِ اْلمَعْرُوْفُ صَحِيْحٌ جَائِزٌ وَتَثَبَتْ بِهِ الْحُجَّةُ شَرْعًا وَعُرْفًا عَلَى قَوْلِ اْلقَائِلِيْنَ بِهِ وَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ فِى غَالِبِ جِهَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ زَمَنٍ قَدِيْمٍ وَحَكَمَتْ بِمُقْتَضَاهُ الْحُكَّامُ وَاَقَرَّهُ مَنْ يَقُوْلُ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَاِنَّمَا اِخْتَارَهُ مَنْ اِخْتَارَهُ وَلِفِقْهٍ مِنْ مَذَاهِب لِلضَّرُوْرَةِ الْمَاسَّةِ اِلَيْهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَاْلإِخْتِلاَفُ فِى صِحَّتِهِ مِنْ أَصْلِهِ وَفِى التَّفْرِيْعِ عَلَيْهِ لاَيَخْفَى عَلَى مَنْ لَهُ إِلْمَامٌ بِاْلفِقْهِArtinya “Jual beli bertempo yang sudah terkenal itu hukumnya adalah sah dan boleh. Ini sudah bisa dijadikan ketetapan hujjah secara syara’ maupun secara urfi. Pendapat yang mengatakan kebolehan transaksi ini sudah berlangsung di banyak daerah kaum muslimin sejak zaman dulu dan sudah dinyatakan sebagai keputusan para ahli hukum dan diakui oleh mayoritas ulama. Pada dasarnya, persoalan ini bersumber dari bukan kalangan mazhab Syafi’i. Namun, pilihan hukum kebolehan transaksi oleh pengkaji fiqih dari beberapa mazhab, adalah bertemu berdasar cara pandang sifat dlarurat akad dan mendesak. Oleh karena itu, perbedaan dalam sah atau tidaknya akad berdasar dalil asalnya, dan berdasar pemerinciannya, adalah bukan sesuatu yang mengkhawatirkan di kalangan orang yang sudah menguasai ilmu fiqih.” Abdullah Ba'lawi, Bughyatu al-Mustarsyidin, Beirut Dâr al-Fikr, tt., 133Sampai di sini sepakat bukan, atas kebolehan bai'u al-inah bila jual beli tangguh yang disertakan di dalamnya disertai waktu penyerahan yang jelas di antara kedua barangnya? Jika bai' al-inah hukumnya dilarang karena dianggap sebagai rekayasa lantas mengapa bai' 'uhdah justru dibolehkan, padahal jelas di akad terakhir harus ada syarat bahwa pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama ketika masa tertentu? Justru syarat ini yang dipandang oleh kalangan Syafiiyah sebagai yang tidak diperbolehkan disebabkan akad tersebut membatalkan status kepemilikan yang harus ihtiyaz menguasai sepenuhnya terhadap hak milik yang sudah dibelinya. Pengkaji rasa bahwa faktor yang menyebabkan kebolehan sistematisasi itu tidak lepas dari faktor darurat sebagaimana disebutkan Syeikh Abdullah Ba'alawi di atas. Untuk itu perlu kita mencermatinya. Wallahu a'lam bish shawab. Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Dankeuntungan yang Anda dapatkan akan terus meningkat jika banyak orang mengetahui bisnis Anda dan membelinya. 7. Forex. Cara menjual online adalah dengan forex atau transaksi yang bertukar mata uang negara tempat Anda tinggal dengan mata uang negara asing pilihan Anda. Banyak orang pasti akan membutuhkan layanan ini saat Anda bepergian ke
KelebihanYuan Digital Cina. Jika dibandingkan dengan currency dan uang tunai, mata uang yuan digital ini memiliki beberapa keunggulan. Anda perlu mengetahui keunggulan dari yuan digital sebelum melakukan pembelian atau penukaran mata uang tunai dengan yuan digital berikut ini: 1. Dapat digunakan tanpa koneksi Internet.
Pembayaranharga pembelian Barang tersebut dilakukan dalam 3 (tiga) tahap pembayaran, yaitu: Pembayaran I sebesar Rp 400.000 dilakukan tunai pada saat penandatanganan Perjanjian Jual Beli ini, dan Perjanjian Jual Beli Ini sebagai kuitansi. Pembayaran II sebesar Rp 1.500.000 dilakukan pada saat penyerahan barang tersebut.

Tidakhanya perusahaan besar yang melakukan penjualan, penjualan dilakukan oleh manusia secara umum. Menjual berbagai jenis jasa dan barang termasuk ke dalam penjualan. Penjualan kredit adalah penjualan yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai. Pembeli akan membayar dengan cara angsuran atau kredit sesuai dengan kesepakatan dengan

LjK4Vp5.
  • l6uch9bplv.pages.dev/345
  • l6uch9bplv.pages.dev/372
  • l6uch9bplv.pages.dev/241
  • l6uch9bplv.pages.dev/492
  • l6uch9bplv.pages.dev/36
  • l6uch9bplv.pages.dev/398
  • l6uch9bplv.pages.dev/403
  • l6uch9bplv.pages.dev/402
  • cara menjual barang dengan tidak tunai